PENDAHULUAN

Bagi manusia pernikahan merupakan hal yang penting dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Dengan sebuah pernikahan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial biologis, psikologis maupun secara sosial. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi. Pernikahan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara. Selain itu manusia adalah mahkluk sosial yang selama hidupnya banyak berinteraksi dengan orang lain dari pada menyendiri karena kodratnya manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan dengan kodrat keterbatasan itu manusia mempunyai naluri yang kuat untuk saling membutuhkan sesamanya dan saling mengisi, melengkapi dan menyempurnakan keterbatasan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dan berinteraksi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, maka dari itu adanya hubungan saling tergantung dengan sesamanya ini di sebabkan kerana adanya interaksi sosial yang merupakan proses sosial, dan syarat-syarat yang utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial, maka dari interaksi sosial tersebut lahirlah reaksi-reaksi sosial sebagai akibat adanya hubungan-hubungan  yang terjadi dan dari reaksi-reaksi itu mengakibatkan bertambah luasnya sikap dan tindakan seseorang (Soerjono Soekanto, 1999: 114).
Maka dengan melangsungkan sebuah pernikahan maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan hidupnya. Sementara itu secara mental atau rohani mereka yang telah menikah lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya. Karena kematangan emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan pernikahan. Keberhasilan rumah tangga sangat banyak di tentukan oleh kematangan emosi, baik suami maupun istri.
Dengan dilangsungkannya pernikahan maka status sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami-istri, dan sah secara hukum. Dan pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia seperti ini secara fisik maupun mental sudah mampu atau sudah ada kesiapan memikul tanggung jawab sebagai suami isteri dalam rumah tangga. Dalam kehidupan manusia pernikahan bukanlah bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayangnya tidak semua orang tidak bisa memahami hakekat dan tujuan dari pernikahan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam berumah-tangga.
Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Para sosiolog berpendapat bahwa asal-usul pengelompokan keluarga bermula dari peristiwa pernikahan. Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, pernikahan, atau adopsi serta tinggal bersama yang tidak terlepas dari sistem keluarga, yang meliputi proses pembentukan keluarga (sistem pelamaran dan pernikahan), membina kehidupan dalam keluarga (hak dan kewajiban suami, istri, dan anak), pendidikan dan pengasuhan anak, putusnya hubungan keluarga (perceraian). Pernikahan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan memikul tanggung-jawab. Begitu memutuskan untuk menikah, mereka siap menanggung segala beban yang timbul akibat adanya pernikahan, baik yang menyangkut pemberian nafkah, pendidikan anak, maupun yang terkait dengan perlindungan, pendidikan, serta pergaulan yang baik.

Pengertian Pernikahan
  • Pernikahan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  • Menurut Paul B. Harton dan Chester L. Hunt (1991) menyatakan bahwa perkawinan adalah “suatu pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga. Lebih lanjut dikatakan bahwa arti sesungguhnya dari pernikahan adalah penerimaan status baru, serta pengakuan atas status baru oleh orang lain.
  • Menurut Al-Qura'an dapat diuraikan sebagai berikut : Menurut Shalaby (2001:12) mengemukakan tentang makna pernikahan dengan arti dari Q.S Yaa Siin : 36 dan Q.S. Al-Mu’minun : 27 bahwa pernikahan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rahasia yang di berikan kepada lawan jenisnya[1].
  • Sedangkan dalam pengertian yang luas pernikahan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah.
Tujuan Pernikahan
  • Tujuan pernikahan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga yaitu mendapatkan keturunan, karena suatu keluarga tentunya terdiri dari suami istri dan anak-anaknya.  Pernikahan itu  untuk selama-lamanya, hal ini dapat kita tarik dari kata “kekal”. Pernikahan itu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.
  • Tujuan pernikahan menurut Hukum Islam adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat yang mendirikan suatu rumah tangga yang damai dan teratur (Thoha Nashruddin, 1967: 16).
  • Tujuan pernikahan menurut Hukum Adat, ialah secara sosiologi untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat setempat.
  • Tujuan Pernikahan dalam Islam
Ø  Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi. Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

 -  Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur. Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah Saw bersabda: Artinya: Telah menceritakan kepada kami Amru bin Hafsh bin Ghiyats Telah menceritakan kepada kami bapakku Telah menceritakan kepada kami Al A'masy ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Umarah dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata; Aku, Alqamah dan Al Aswad pernah menemui Abdullah, lalu ia pun berkata; Pada waktu muda dulu, kami pernah berada bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Saat itu, kami tidak sesuatu pun, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami: "Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya." (HR.Bukhari No : 4678)[2].

Ø  Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah. Rasulullah Saw bersabda : 
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal : 
Rasulullah Saw, bersabda :
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ubaidullah ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Sa'id dari bapaknya dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung." (Hadits riwayat Abu Hurairah ra, (Shahih Muslim No.4700))[3].
Ø  Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Ø  Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
       Selain tujuan didalam didalam islam juga menyebutkan beberapa persyaratan dalam dalam melaksankan pernikahan yang wajib dipenuhi bagi setiap pasangan yang akan melaksanakannya. 
            Rasulullah Saw bersabda :
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepada kami Husyaim. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami Waki'. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya yaitu Al Qaththan dari Abdul Hamid bin Ja'far dari Yazid bin Abi Habib dari Martsad bin Abdillah Al Yazani dari 'Uqbah bin Amir dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah syarat untuk menghalalkan kemaluan (untuk bersenggama). Ini adalah lafazh hadits Abu Bakar dan Ibnu Al Mutsanna namun Ibnu Al Mutsanna menyebutkan; syarat-syarat (dalam bentuk jamak). (Hadis riwayat Uqbah bin Amir ra, (Shahih Muslim No. 2542))[4].

Makna dan Nilai Pernikahan Dalam Paradigma Al-Qur’an.
  • Pernikahan dalam Islam tidak sekadar pelampiasan syahwat pasangan hidup yang telah melaksanakan akad pernikahan tersebut. Tetapi pernikahan memiliki makna yang lebih dalam lagi. Pandangan tersebut didasarkan pada makna asal dan nilai dari kata pernikahan dalam al-Qur’an.
  • Pernikahan dalam terminology al-Qur’an disebut dengan istilah zawaj bermakna asal hidup berpasangan. Sementara hidup berpasangan itu merupakan fitrah kauniah yang Allah ciptakan
  • Hidup berpasangan juga berarti saling melengkapi satu sama lain dalam kehidupan.
       Allah Swt, berfirman :
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. Ar Ruum;21)[5]
Maka untuk pelaksanaan pernikahan yang benar dan baik, Islam menentukan rambu-rambu yaitu rukun dan syarat sahnya pernikahan yang banyak dibahas dalam buku-buku fiqh Islam, antara lain sbb :
  • Dua pihak yang saling mengikat janji harus mumayyaz (mampu membedakan antara yang benar dan salah).
  • Kesepakatan kata ijab qabul (transaksi)
  • Kalimat ijab qabul tidak saling berbeda.
  • Konsentrasi penuh kedua pihak pengikat janji ini dalam memahami maksud kata-kata dan ungkapan dalam akad pernikahan.
Selain itu juga agama islam sangat menghargai dan memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap pernikahan, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.
Rasulullah Saw, bersabda : 
Artinya : Dan telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Nafi' Al Abdi telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, "Saya tidak akan menikah." Kemudian sebagian lagi berkata, "Aku tidak akan makan daging." Dan sebagian lain lagi berkata, "Aku tidak akan tidur di atas kasurku." Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: "Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku." (Hadis riwayat Anas ra. (Shahih Muslim No.2487))[6].
Islam juga paling tidak suka dengan yang namanya membujang. Syaikh Hussain Muhammad Yusuf mengatakan bahwa: “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab”. Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini.
Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah. misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”. Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk menikah, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya.
Hadits Nabi Saw :
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Hujain bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata, telah mengabarkan kepadaku Sa'id bin Al Musayyab bahwa ia mendengar Sa'd bin Abu Waqash berkata; Utsman bin Mazh'un untuk hidup membujang, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarangnya. “Andaikan beliau mengizinkannya, tentulah kami sudah mengebiri diri kami sendiri”. (Hadits riwayat Sa’id ra. (Sahih Muslim No.2490))[7].
Selain itu juga islam menganjurkan setiap individu agar menghindari atau menghilangkan sebagian penyelewengan yang terjadi dalam sebuah pernikahan, diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Pacaran ; Karena kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya. Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru.
  • Tukar Cincin ; Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)
  • Menuntut Mahar Yang Tinggi ; Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi. Rasulullah Saw, bersabda : Artinya : Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Muhammad bin Qudamah keduanya berkata; Telah mengabarkan kepada kami An Nadlr bin Syumail telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Shuhaib dia berkata; Saya mendengar Anas berkata, Abdurrahman bin Auf berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat wajahku seakan-akan berseri-seri di hari pernikahanku, maka saya berkata; Saya telah menikahi seorang wanita Anshar. Lantas beliau bersabda: Berapakah kamu memberikan maskawinnya? Saya menjawab; Nawat (nilai seharga lima dirham). Dalam hadits Ishaq disebutkan; Dari emas. (Hadits riwayat Anas ra. (Shahih Muslim No.2559))[8].
  • Mengikuti Upacara Adat ; Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
  • Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah ; Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam. Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah : “Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”. Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
  • Adanya Ikhtilath ; Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
  • Pelanggaran Lain ; Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
Pernikahan sebagai Pembina Rumah Taangga Bahagia
Rumah tangga merupakan sumber kekuatan masyarakat. Keluarga laksana sel-sel yang membentuk tubuh masyarakat, jika keluarga baik niscaya masyarakat pun menjadi baik. Demikian sebaliknya jika keluarga rusak maka rusak pula tatanan masyarakat. Rumah tangga yang bahagia merupakan dambaan setiap insan, baik mereka yang memasuki jenjang tersebut, maupun yang tengah menapakinya. Namun mendirikan rumah tangga bahagia bukan suatu yang ringan, diperlukan jihad yang besar, pengorbanan yang tinggi, karenanya mewujudkan rumah tangga bahagia mutlak diperlukan pribadi-pribadi yang tangguh dan kokoh, agar mampu menahan badai dan ombak yang menerpa biduk rumah tangga. Kebahagiaan hakiki bersumber dari Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui kebutuhan makhlukNya. Maka kebahagiaan dalam rumah tangga tidak lepas dari nilai Islam sebagai agama yang diturunkan Allah swt untuk mengatur kehidupan manusia. Tipe rumah tangga bahagia selanjutnya Allah perlihatkan lewat utusanNya Rasulullah saw. Sebagai umatnya kita diwajibkan untuk meneladani beliau dalam masalah hidup dan kehidupan.

Konsepsi Rumah Tangga Dalam Islam.
Konsepsi rumah tangga dalam Islam dapat kita lihat dari hal-hal berikut:
  • Rumah tangga dalam Islam merupakan ajaran yang rinci, karena aturan dalam pembentukan keluarga begitu banyak, mulai masalah pernikahan, prosedur pernikahan, hak-hak suami-istri, aturan poligami, perceraian beserta syarat-syaratnya, hak-hak anak dalam keluarga, rasa solidaritas dan toleransi antar sesama anggota keluarga.
  • Hukum-hukum rumah tangga dalam Islam berhubungan erat dengan keimanan, karenanya hidup berkeluarga dalam Islam adalah kehidupan sakral, karena berlandaskan asas ketundukan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
  • Pernikahan sebagai langkah awal dari kehidupan berumah tangga muncul dari sebagian tanda keagungan dan kebesaran Allah swt.
  • Di dalam al-Qur’an dapat kita lihat penjelasan Allah swt tentang keadilan Islam dalam mengatur antara hak dan kewajiban pria dan wanita[9].
  • Di dalam pelaksanaan hukum-hukum, Islam tidak berdiri atas aturan pemberian sanksi, tetapi lebih berasaskan sikap preventif.
Tujuan Membina Rumah Tangga dalam Islam
Agar manusia dapat melaksanakan kehidupan rumah tangga dengan benar dan baik, maka Islam menjelaskan tujuan-tujuan berumah tangga sebagai berikut ;
  • Al-Istimta’ (mencapai kesenangan syahwati) dengan pemenuhan kebutuhan biologis seseorang. Karena manusia dianugrahkan allah kecenderungan-kecenderungan seksual, maka Islam mengarahkan kecenderungan tersebut dengan ikatan suci dan bersih, yakni pernikahan. Rasulullah Saw pun mengarahkan: Artinya : Telah menceritakan kepada kami Amru bin Hafsh bin Ghiyats Telah menceritakan kepada kami bapakku Telah menceritakan kepada kami Al A'masy ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Umarah dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata; Aku, Alqamah dan Al Aswad pernah menemui Abdullah, lalu ia pun berkata; Pada waktu muda dulu, kami pernah berada bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Saat itu, kami tidak sesuatu pun, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami: "Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya." (Hadits riwayat Abdullah ra. (Shahih Muslim No.4678)[10].
  • Meraih ketenangan jiwa dan hubungan kasih sayang. Dengan berumah tangga seseorang mengharapkan sakinah (ketenangan) mawaddah (cinta) dan rahmah (rasa sayang)
  • Rumah tangga berfungsi sebagai sarana penerus generasi[11]. Karena setiap orang tua memiliki fitrah berupa harapan mempunyai keturunan untuk melanjutkan perjuangan hidupnya[12].
  • Adanya unsur pendidikan anak dalam kehidupan rumah tangga, Islam mengarahkan agar membina rumah tangga bertujuan membina generasi muslim yang komit dan istiqomah dengan ajaran Islam, agar mereka siap mengemban amanat menegakkan risalah Islam dalam kehidupan.
  • Rumah tangga juga berfungsi sebagai sarana pembentuk nilai-nilai kebaikan dalam masyarakat, karena keluarga adalah sebuah elemen dari unsur-unsur masyarakat. Keluarga-keluarga yang baik diharapkan dapat merealisasi konsep kerja sama dalam menebar kebaikan di masyarakat.
  • Rumah tangga yang dibina dapat memelihara masayarakat dari kemerosotan moral. 

KESIMPULAN


Pernikahan merupakan hal yang penting dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Dengan sebuah pernikahan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial biologis, psikologis maupun secara sosial. Maka dengan melangsungkan sebuah pernikahan maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan hidupnya. Maka dengan dilangsungkannya pernikahan maka status sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami-istri, dan sah secara hukum. Menurut Al-Qura'an dalam Q.S Yaa Siin : 36 dan Q.S. Al-Mu’minun : 27 dijelaskan bahwa pernikahan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rahasia yang di berikan kepada lawan jenisnya.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yaitu mendapatkan keturunan, karena suatu keluarga tentunya terdiri dari suami istri dan anak-anaknya. Sedangkan tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi, untuk membentengi ahlak yang luhur, untuk menegakkan rumah tangga yang islami, untuk meningkatkan ibadah kepada Allah, dan untuk mencari keturunan yang shalih.
Dalam kehidupan manusia pernikahan bukanlah bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayangnya tidak semua orang tidak bisa memahami hakekat dan tujuan dari pernikahan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam berumah-tangga. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan memikul tanggung-jawab. Begitu memutuskan untuk menikah, mereka siap menanggung segala beban yang timbul akibat adanya pernikahan, baik yang menyangkut pemberian nafkah, pendidikan anak, maupun yang terkait dengan perlindungan, pendidikan, serta pergaulan yang baik.
Demikianlah makalah yang saya sajikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amiin…
Footnote:

[2] Kumpulan & Referensi Belajar HaditsSumber : http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND, Kumpulan Hadits dari Shahih Bukhari “Bab Nikah”
[3] Kumpulan & Referensi Belajar HaditsSumber : http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND, Kumpulan Hadits dari Shahih Muslim “Bab Nikah”
[4] Kumpulan & Referensi Belajar HaditsSumber : http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND, Kumpulan Hadits dari Shahih Muslim “Bab Nikah”
[5] Kumpulan & Referensi Belajar HaditsSumber : http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND, Al-qur’an dan Terjemahannya
[6] Kumpulan & Referensi Belajar HaditsSumber : http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND, Kumpulan Hadits dari Shahih Muslim “Bab Nikah”
[7] Kumpulan & Referensi Belajar HaditsSumber : http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND, Kumpulan Hadits dari Shahih Muslim “Bab Nikah”

[8] Kumpulan & Referensi Belajar HaditsSumber : http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND, Kumpulan Hadits dari Shahih Muslim “Bab Nikah”

[9] Kumpulan & Referensi Belajar Hadits Sumber : http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND, Al-qur’an dan Terjemahannya, (QS. Al-Baqarah ; 228)

[10] Ibid, Hadits Riwayat Muslim “Bab Nikah”
[11] Kumpulan & Referensi Belajar Hadits Sumber : http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND, Al-qur’an dan Terjemahannya, (QS. An-Nisaa’ : 4, Al-Baqarah : 223)
[12] Ibid, (QS, Al-Anbiyaa’ : 89-90, Ibrahim : 39)







DAFTAR PUSTAKA

  • Ahmad Sunarto, dkk. 1993. Kitab Tarjamah Shahih Bukhari. Semarang. CV. Asy Syifa’.
  • Arman Arroisi. 1995. Refleksi Ajaran Tuhan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
  • H.U. Saifuddin ASM. 2000. Percikan Hadits. Bandung. Mudzakarah.
  • Imam Nawawi. 1999.Terjemah Riyadhus Shalihin. Jilid 1. Jakarta. Pustaka Imani.
  • M. Taufik Rahman, Ph.D. 2011. Glosari Teori Sosial. Bandung. Ibnu Sina Press.
  • Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
  • Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta. 2009. Dasar-Dasar Sosiologi. Yogyakarta. Graha Ilmu.
  • Sofyan Efendi. Kumpulan & Referensi Belajar Hadits Sumber : Al-qur’an dan Terjemahannya. http://hadith.al islam.com/bayan/Tree.asp?Lang = IND

Copyright © Komunitas Sosial ^_^ Template Design by RzaaL 1306